Sabtu, 25 Februari 2012

Menikah Bukan Sekedar Menjadi Suami Istri

Ini bukan mau ikutan kontesnya puteri yang Story Pudding for Wedding ya dek, cuma pengen rame-ramein aja. Tapi kalo ada yang baca post ini trus pengen ikut ya baguuus.
Sebenarnya kalo ikutan aku juga bingung mau cerita kisah sebelum, sesudah atau saat menikah. Tapi aku pengen cerita yang indah-indah saja kalo bisa sebenarnya, walopun pernikahanku gagal. Karena meski hanya sebentar bersama, aku bersyukur pernah menikah dan memiliki anak.

Apa sih yang membuat kita memutuskan menikah? Banyaklah. Contohnya tahun ini ada dua orang sahabat terdekatku yang akan menikah. Satunya sahabat dari dunia maya yang akhirnya menjadi nyata, dan yang satunya adalah sahabat dekatku yang benar-benar dekat secara fisik. Sahabatku ini namanya Erlyn. Ia sudah berusia 32 tahun dan memang belum sekalipun menikah. Dengan jujur ia memutuskan menikah karena usia. Padahal ia baru kenal calon suaminya 3 bulan, dan bulan depan mereka sudah akan menikah. Cukup kilat sebenarnya.
Kalau aku sendiri, kenapa dulu memutuskan menikah? Setelah kupikir-pikir rasanya dulu karena aku merasa sudah waktunya menikah. Waktu itu aku mengenal suamiku hanya sekitar 1 tahun saja. Saat awal memutuskan menikah, kami tidak mengalami kesulitan apapun sampai dengan saat-saat terakhir sebelum menikah. Sekitar sebulan sebelumnya, tiba-tiba saja aku yang mengenal calon suamiku adalah lelaki yang baik dan rajin beribadah (saat itu dia muallaf), bertanggung jawab, punya pekerjaan tetap, dan sangat mengasihiku, secara berangsur-angsur terlihat kasar, emosional dan tidak masuk akal. Sampai pada suatu hari aku memutuskan untuk membatalkan pernikahan kami.
Pembatalan ini sepihak. Dan baru aku sampaikan dengan sangat yakin pada sang calon suami, saat itu alasanku adalah perbedaan keyakinan di antara keluarga kami meskipun dia sendiri telah pindah keyakinan sebelumnya. Padahal sebenarnya aku takut. Takut menghadapi dia bila menjadi suamiku. Membayangkan seandainya nanti akan terjadi tindak kekerasan dalam kehidupan kami. Dan aku siap kalau ayah dan ibuku marah dan siap pula menanggung malu karena undangan sudah disebarkan. Menurutku malu itu hanya sebentar saja nantinya juga orang-orang bisa lupa.
Tapi apa yang kemudian terjadi, calon suamiku menangis saat menerima keputusan itu, dia memohon-mohon agar tidak ditinggalkan, agar aku merubah keputusan untuk tidak membatalkan pernikahan kami. Dan demi melihat dia begitu bersedih, aku pun jatuh iba. Maka niat awalku menikah yang mulanya didasarkan oleh cinta dan kasih sayang berubahlah menjadi kasihan. Sejak saat itu aku berusaha keras membangun rumah tangga bersama suami dengan banyak sekali cobaan. Tak jarang kami berbeda pendapat dan aku mengalah karena ia terlalu emosional dan hal itu menjadi senjata bagi dirinya. Semakin aku mengalah, semakin besar kekuatannya untuk berkehendak sesuka hati.
Dan akhirnya kami gagal. Karena aku menyerah, dan karena pada intinya keyakinan dalam diri seseorang tidak dapat diubah hanya karena cinta terhadap manusia. Cinta kepada Tuhanlah yang lebih besar. Karena berbagai pertimbangan terutama keluarga masing-masing maka kami memutuskan berpisah. Bukan berarti aku tak lagi menyayanginya dan bukan berarti dia juga tak menyayangi aku dan anak kami. Meski tak berstatus sebagai suami istri lagi, kami bisa saja menjadi sahabat, dengan tetap mencintai anak yang telah lahir.
Satu dan lebih pelajaran yang aku ambil dari pernikahan yang telah begitu berani aku laksanakan adalah bahwa menikah itu tak hanya melibatkan aku sebagai perempuan yang menjadi istri dan dia sebagai laki-laki yang menjadi suami. Tetapi juga orang tua kami, sanak saudara, kehidupan, lingkungan, latar belakang pendidikan dan tingkat sosial. Semua itu tidak dapat diindahkan. Dan meski begitu banyak pendapat mengatakan bahwa pernikahan yang diawali tanpa cinta itu akan baik pada akhirnya, aku tetap berpendapat bahwa cinta dan kasih sayang yang menjadi dasar awal sebuah pernikahan adalah sangat penting. Dalam hal ini cinta yang tulus, bukan cinta berdasarkan nafsu saja. CInta yang tulus akan mampu melewati banyak ujian dan begitu banyak rintangan sekalipun.
Jadi yang pengen menikah, menikahlah. Dengan persiapan yang matang, bukan hanya materi. Namun libatkan pula jiwa raga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar